Sabtu, 17 Maret 2012

Epistimologi dalam Perspektif Filsafat Islam


EPISTIMOLOGI
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ISLAM

A.    PENDAHULUAN
Secara historis, epistimologi bukanlah permasalahan  pertama yang muncul dalam pikiran manusia. Justru aktivitas filsafat dimulai dalam wilayah metafisika. Apa itu dunia? apa itu jiwa? Dan sebagainya merupakan pertanyaan-pertanyaan pertama yang  mengganggu pikiran manusia yang selanjutnya mereka mencoba menemukan jawabannya. Akan tetapi, mereka mendapati berbagai jawaban tentang hal-hal tersebut beragam dan saling bertentangan. Berangkat dari fakta ini mereka sampai pada dunia luar, tetapi justru mereka arahkan kepada dirinya sendiri tentang apakah intelek manusia mampu menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Pada titik inilah manusia masuk dalam kawasan epistimologi.[1]
Dalam makalah ini, saya akan mencoba memaparkan bagaimanakah konsep epistimologi dalam perspektif filsafat islam.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian epistimologi?
2.      Apa sajakah objek epistimologi Islam?
3.      Bagaimanakah cara memperoleh ilmu pengetahuan?
4.      Bagaimanakah konsep para filosof tentang epistimologi?

C.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Epistimologi
Epistimologi berasal dari Bahasa Yunani kuno, yaitu epistem yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti penjelasan atau ilmu. Jadi secara etimologis, epistimologi adalah ilmu tentang pengetahuan.[2] Sedangkan secara terminologi epistimologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan teori ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu.[3]
Epistimologi merupakan cabang filsafat yang yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prisip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauhkah tingkat kebenaran yang bisa dicapainya, dan kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran obyektif, subyektif, absolut atau relatif. Subyek ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas, sehingga kajian ilmu pada realitasnya, selalu berada pada batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi hidup manusia sendiri, maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap batas-batas itu, dengan sendirinya selalu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Jadi, epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, batas, validitas dan hakekat pengetahuan. Epistimologi meliputi berbagai sarana dan tata cara menggunakan sarana dan sumber pengetahuan untuk mencapai kebenaran dan kenyataan. Perbedaaan dalam pemilihan asumsi ontologi dengan sendirinya akan mengakibatkan perbedaan, yaitu akal, pengetahuan, intuisi dan lain-lain.[4]

2.      Objek Epistimologi Islam
Dalam konsep filsafat Islam, kajian ilmu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an. Ayat tersebut mengkaji tentang tuhan dan firman-Nya, alam dan manusia. Kajian terhadap kitab suci akan melahirkan dimensi ilmu fisika atau ilmu alam, sedangkan kajiandalam manusia akan menimbulkan ilmu antropologi atau ilmu humaniora.
Dari data ini jelas bahwa dalam agama Islam obyek ilmu tidak hanya dalam ilmu agama, tetapi juga dalam alam dan mereka sendiri. Ini berarti manusi dituntut untuk memperoleh pengetahuan dari ayat-ayat Tuhan, alam, maupun dari diri mereka.[5]
3.      Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Ada beberapa jalan memperoleh pengetahuan yaitu empirisme, rasionalisme, dan intusionisme.
Menurut empirisme bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantara pancaindera. Pancaindera memperoleh kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata dan kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia.
Menurut rasionalisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantara akal. Akal berhajat pada bantuan pancaindera untuk memperoleh data dari alam nyata, tapi akallah yang menghubungkan data ini satu dengan yang lain, sehingga terdapatlah ilmu pengetahuan yang diperoleh Nabi untuk membawa ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu.[6]
Adapun Intusionisme adalah kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia. Kemampuannya mirip instinct, tetpai berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik. Intuisi ini menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi, indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh atau spasial, sedangkan intuisi dapat mengahasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap.[7]
Dari teori di atas dapat kami simpulkan bahwa cara memperoleh ilmu pengetahuan yaitu berasal dari wahyu dan akal. Wahyu merupakan pengetahuan yang datang dari Tuhan, dan kebenarannya adalah mutlak dan akal tidak sanggup mengubahnya. Akal merupakan perolehan pengetahuan dengan berfikir.
Kebenaran teori pengetahuan akal manusia sangatlah terbatas, ini dikarenakan terbatasnya usia manusia, dan berkembangnya obyek bahasan, jadi beda dengan kebenaran wahyu. Kebenaran manusia terbatas karena kebenaran yang sesungguhnya berasal dari Tuhan.[8]
4.      Konsep Para Filosof Tentang Epistimologi
a.       Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishak Al-Kindi (Wafat 252 H)
Al-Kindi menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia, yaitu :[9]
1)      Pengetahuan Indrawi
Pengetahun indrawi terjadi secara langsung ketika seseorang mengamati obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berpindah ke imajinasi. Pengetahuan yang diperoleh lewat jalan ini bersifat tidak tetap, tetapi selalu berubah dan bergerak setiap waktu.
2)      Pengetahuan Rasional
Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang diperoleh menggunakan jalan akal yang bersifat universal, tidak parsial dan immaterial. Pengetahuan ini menyelidikinya sampai pada hakikatnya dan sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang berfikir.
3)      Pengetahuan Isyraqi
Pengetahuan isyraqi merupakan pengetahuan yang datang dan diperoleh langsung dari pancaran Nur Ilahi, puncak pengetahuan dari pengetahuan ini adalah pengetahuan yang diperoleh Nabi untuk membawakan ajaran yang berasal dari wahyu Tuhan. Menurutnya pengetahuan inilah yang mutlak dan benar. Pengetahuan ini hanya dimilki oleh mereka yang berjiwa suci dan dekat dengan Allah.
b.      Abu Nashr Al-Farabi (257-329 H)
Menurut Al-Farabi, manusia memperoleh pengetahuan itu dari daya mengindra, menghayal, dan berfikir. Yang mana ketiga daya ini merujuk pada kedirian manusia, yaitu : jism, nafs, aql.
1)      Mengindra, daya ini memungkinkan manusia untuk menerima rangsangan seperti panas dan dingin. Dengan daya ini manusia dapat mengecap, membau, mendengar suara dan melihat.
2)      Menghayal, memungkinkan manusia untuk memperoleh kesan dari hal-hal yang dirasakan setelah obyek itu lenyap dari jangkauan indra. Daya ini adalah menggabungkan atau memisahkan seluruh kesan-kesan yang ada sehingga menghasilkan potongan-potongan atau kombinasi-kombinasi yang beragam. Hasilnya bisa jadi benar bisa jadi salah.
3)      Berfikir, daya ini memungkinkan manusia memahami berbagai pengertian.[10]
c.       Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H)
Setelah ia melewati masa skeptisitasnya, ia mengkaji secara mendalam persoalan-persoalan epistemologi. Menurutnya, makrifat hakiki adalah suatu pengetahuan yang menyingkap hakikat objek pengetahuan (ma’lum) sedemikian sehingga tidak menyisakan satu bentuk keraguan dan tidak menghadirkan kemungkinan kekeliruan atasnya.
Al-Ghazali pernah menelusuri lorong-lorong keraguan dan sampai pada puncak keraguan. Namun, pada akhirnya ia terhidayah dan menggapai keyakinan berkat pertolongan cahaya Ilahi. Ia terperosok ke lembah skeptisitas lewat alur logika dan keluar darinya dengan jalan pengalaman mistik dan intuisi irfani.
Dengan menghitung kesalahan dan kekeliruan panca indra, ia lantas meragukan hal-hal yang indriawi dan beranggapan bahwa sebagaimana akal bisa mengungkap semua kesalahan panca indra, sangat mungkin akan hadir seorang pemikir lain yang mampu menyingkap kekeliruan akal dan membatalkan pengetahuan yang dipandang gamblang oleh akal (seperti angka sepuluh lebih besar dari tiga). Dan ia berkata bahwa dari mana kita yakin bahwa kita dalam kondisi tidak tidur dan berkhayal. Oleh karena itu, kita bisa meragukan segala sesuatu. Menurutnya, pengalaman mistik dan intuisi irfani (al-kasy wa asy-syuhud al-’irfani). Akan tetapi, ia juga meyakini bahwa jalan logika dan penalaran akal, dengan berpegang teguh pada syarat-syaratnya, sebagai metode memahami hakikat eksternal. Ia menekankan bahwa hasil-hasil yang dicapai oleh pengetahuan itu sangat berpijak kepada penguatan argumentasi-argumentasinya.[11]
d.      Fakhr al-Din ar-Razi (543-606 H)
Ia sama dengan para filosof sebelumnya yang menganggap indra lahir dan akal sebagai alat untuk memahami realitas luar, dan setelah menerima kenyataan adanya kekeliruan pada indra lahir, ia kemudian meletakkan akal itu sebagai tolok ukur dalam penentuan kesalahan yang dilakukan oleh indra lahir.
Menurutnya, ilmu itu ialah hubungan antara ‘âlim (yang mengetahui) dengan ma’lum bidz-dzat (pengetahuan esensial). Ia juga menjelaskan tentang keraguan-keraguan yang berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan badihi dan gamblang, namun, menurutnya, keberadaan semua keraguan tersebut tidak mampu menafikan kebenaran pengetahuan yang gamblang tersebut.[12]
D.    KESIMPULAN
1.      Epistimologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan teori ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu.
2.      Obyek epistimologi atau pengetahuan islam adalah Tuhan, alam dan manusia.
3.      Cara memperoleh pengetahuan ada tiga yaitu :
a.       Empirisme yaitu pengetahuan diperoleh dengan perantara pancaindera.
b.      Rasionalisme yaitu pengetahuan yang diperoleh menggunakan jalan akal yang bersifat universal.
c.       Intuisionisme yaitu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yang merupakan hasil evolusi pemahaman tertinggi. Kemampuannya mirip instinct, tetpai berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya.
4.      Konsep para filosof tentang epistimologi, diantaranya :
a.       Al-Kindi menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia yaitu indrawi, rasional dan isyraqi.
b.      Menurut Al-Farabi menyebutkan tiga macam pengetahuan manusia yaitu mengindera, mengkhayal dan berfikir.
c.       Menurut Al-Ghazali ada tiga akal dan indera bisa saja salah dan diragukan kebenarannya. Menurutnya, pengalaman mistik dan intuisi irfani lebih baik dari keduanya.
d.      Menurut Ar-Razi, akal sebagai pengkoreksi indra apabila terjadi kesalahan.

Walhasil, filsafat dalam Islam adalah mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan didukung oleh wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang tak dapat terjangkau oleh metode empiris-rasional tersebut. Meskipun metodologi pencaraian ilmu dalam Islam memiliki kesamaan dengan di Barat dalam aspek rasionalitas, namun secara fundamental hal itu dapat dibedakan oleh pandangan hidup atau worldview masing-masing peradaban.

E.     PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun. Semoga dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua. Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian. Kritik dan saran yang konstruktif sangat saya butuhkan untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.

F.      DAFTAR PUSTAKA
Ø  Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004).
Ø  Dr. H. Musa Asy’ari, dkk, Filsafat, RSFI, Yogyakarta; 1992.
Ø  Drs. H. Fathul Mufid, M.Si, Filsafat Ilmu Islam, STAIN KUDUS, 2008.
Ø  Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Ø  Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Remaja Rosda Karya, bandung, 2007
Ø  Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997.
Ø  http://kumpulanresume.blogspot.com/2010/12/epistemologi-dalam-filsafat-islam.html



[1] Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), Hal. 129
[2]Ibid, hal. 130-131
[3]Dr. H. Musa Asy’ari,dkk, Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis dan Porspektif, RSFI, Yogyakarta; 1992. Hal. 28
[4] Drs. H. Fathul Mufid, M.Si, Filsafat Ilmu Islam, STAIN KUDUS, 2008, hal, 74-75
[5] Ibid, Hal. 77
[6] Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal, 7
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Remaja Rosda Karya, bandung, 2007
[8] Op. Cit, Harun Nasution, hal. 8
[9] Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997.
[10] Op. Cit. hal. 76-77
[11] http://kumpulanresume.blogspot.com/2010/12/epistemologi-dalam-filsafat-islam.html
[12] http://kumpulanresume.blogspot.com/2010/12/epistemologi-dalam-filsafat-islam.html

Hubungan Filsafat dan Agama dalam Pandangan Filosof Muslim


HUBUNGAN FILSAFAT dan AGAMA dalam PANDANGAN PARA FILOSOF MUSLIM

I.         PENDAHULUAN
Tidak ada sejarah intelektual di dunia Islam yang begitu mengharu biru selain sejarah filsafat. Di satu sisi, sumbangannya terhadap kegemilangan peradaban Islam tidak bisa dipungkiri, tetapi di sisi lain, filsafat juga dianggap sebagai unsur luar yang mengacak-mengacak ajaran islam. Kalau antara fiqh dan ilmu kalam masih bisa bergandengan, maka perseteruan antara fiqh (agama) dengan filsafat telah melahirkan sekian klaim pengkafiran, bahkan lebih dari itu, pembunuhan.
Bisa jadi ini karena watak khas filsafat itu sendiri. Filsafat, apapun nama dan bentuknya, adalah keberanian untuk mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang dalam pandangan umum telah diyakini kebenarannya. Kalau struktur berpikir dalam ilmu kalam berangkat dari nash kemudian dijustifikassi dengan pemikiran filosofis, maka yang terjadi dalam filsafat adalah sebaliknya. Para filsuf mengambil sepenuhnya refleksi filosofis yunani, baru mempertimbangkannya demi kepentingan Islam dan dijustifikasi dengan nash.[1]Watak subversif ini, misalnya, bisa dilihat dari pemikiran Ar-Razi yang tidak mengakui kenabian dan kemukjizatan Al-Qur’an. Akan tetapi, apapun hasilnya dan apapun penilaian orang terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh para filsuf muslim, mereka telah mencurahakan tenaga dan pikirannya untuk membuat sintesa yang harmonis antara agama dan filsafat.[2] Oleh karena itu, dalam makalah ini saya akan menguraikan “Hubungan antara filsafat islam dan agama menurut beberapa filosof islam”.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian dan Alasan Mengapa Disebut Filsafat Islam
B.     Biografi Singkat Filosof-Filosof Muslim Yang Terkait.
C.     Hubungan Filsafat Islam dan Agama Menurut Beberapa Filosof Muslim


III.   PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Alasan Mengapa Disebut Filsafat Islam
Filsafat islam adalah hasil dari sebuah proses rumit, dimana sekalipun dengan sadar ia tidak mau melepaskan diri dari otoritas wahyu, namun ia juga dengan kesadaran penuh dan rasa hormat yang tinggi mengambil bahannnya dari luar Islam.
Ada tiga pendapat yang diberikan oleh Mulyadi Kartanegara yang lebih memilih memberi nama Filsafat Islam daripada Filsafat Muslim, Filsafat Arab ataupun Filsafat dalam Dunia Islam. Ketiga alasan tersebut adalah
1.      Islam telah menggabungkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah ketika Filsafat Yunani diperkenalkan kepada Islam. Oleh karena itu, disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman oleh filsafat”.
2.      Sebagai pemikir Islam, filosof muslim adalah pemerhati filsafat asing yang kritis.
3.      Akibat dari interaksi antara Islam sebagai agama dengan Filsafat Yunani maka filosof muslim telah mengembangkan beberapa isu filsafat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya.
 Jadi, penamaan Filsafat Islam menurut beliau lebih tepat daripada istilah-istilah lain.

B.     Biografi Singkat Filosof-Filosof Muslim yang Terkait.
1.  Al-Kindi
Ya’kub ibn Ishaq Al-Kindi berasal dari Kindah di Yaman tetapi ia lahir di Kuffah (Irak) di tahun 796 M. Orang tuanya adalahGubernur dari Basrah. Al-Kindi menganut aliran mu’tazilah dan kemudian ia belajar filsafat. Pada waktu itu adalah masa penterjemahan buku-buku yunanai. Ia turut aktif dalam kegiatan tersebut, meskipun hanya mengomentari.[3]Ia adalah filosof berbangsa Arab dan dipandang sebagai filosof muslim pertama. Di antara kelebihan Al-Kindi adalah menghadirkan filsafat yunani kepada kaum muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing. Ia telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu.[4],[5]

2.  Ar-Razi
Nama lengkap Ar-Razi adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar-Razi. Ia dilahirkan di Rayy, di propinsi Khurasan dekat Teheran, pada tahun 864 M.[6] Ia wafat pada usia 62 tahun, yaitu pada 25 Oktober 925 M.[7]

3.  Ibnu Tufail
Abu Bakar Muhammad ibn Abdul Malik ibn Muhammad ibn Thufail al-Qisiy lahir di lembah Asy, terletak 16 km dari Granada tahun 506 H/1110 M. Ia sangat terkenal dengan ilmu kedokteran, ilmu falak, sastra, dan falsafah, di samping sebagai dokter pribadi Abu Ya’kub Yusuf Al-Mansur, Kholifah kedua dari Dinasti Muwahhidin. Ibnu Rusyd adalah murid dari Ibnu Tufail yang kemudian menggantikannya sebagai dokter pribadi Kholifah al-Mansur sepeninggalnya pada tahun 581 H/ 1185 M di Maroko.[8]

4.  Ibnu Rusyd
Abu Al walid Muhammad ibn Muhammad ibn Rusyd lahir di Cordova pada tahun 1126 M. Ia berasal dari keluarga hakim-hakim di andalusia. Ia pernah menjadi hakim di Sevilledan dan beberapa kota-kota lain di Spanyol. Selanjutnya ia pernah menjadi dokter istana di Cordova, serta sebagai filosof dan ahli dalam hukum islam. Ia meninggalkan karangan-karangan dalam ilmu hukum Bidayah al-Mujtahid dan ilmu kedokteran Kitab al-Kulliyat selain dari karangan-karangan dalam lapangan filsafat. Ia di Eropa dikenal sebagai Comentator dari Aristoteles, di timur atau dunia Islam ia dikenal sebagai orang yang membela kaum filosofis dari serangan-serangan al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah.[9]

C.      Hubungan Filsafat Islam dengan Agama Menurut Beberapa Filosof. Diantaranya:
1.      Al-Kindi
Masalah hubungan agama dengan falsafah merupakan suatu masalah yang di perdebatkan dalam zaman al-Kindi. Ahli-ahli agama pada umumnya menolak keabsahan ilmu falsafah karena diantara produk pemikiran falsafi jelas menunjukkan pertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Sebagai seorang filsuf Islam al-Kindi telah mengangkat dirinya sebagai pembela ilmu falsafah terhadap serangan yang datang dari berbagai pihak yang tidak setuju. Baginya, agama dan falsafah tidaklah harus dipertentangkan karena keduanya membawa kebenaran yang serupa.
Selanjutnya ia menegaskan bahwa ilmu ketuhanan dan cabang-cabang ilmu falsafah yang lain adalah sesuai dengan yang dibawa Nabi dan Rasul. Mereka semua membawa ajaran tentang ketuhanan, akhlak mulia, serta menjauhkan diri dari sifat dan perbuatan tercela. Dengan demikian, agama dan filsafat mengandung ilmu dan kebenaran yang serupa. Tidak mungkin kedua ilmu yang sejenis ini saling bertentangan dalam kebenaran.
Sekiranya memang ada perbedaan ilmu falsafah dengan agama, maka itu tidak terletak pada isi kandungannya, tapi pada cara, sumber, dan ciri yang khas. Ajaran Agama yang dibawa Nabi dan Rosul tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi berasal dari Allah. Selain itu, ilmu para Nabi itu ringkas, jelas serta mudah untuk dimengerti, lagi memenuhi segala keperluan hidup manusia. Sedangkan ilmu falsafah dan berbagai ilmu manusia lainnya hanya merupakan produk usaha keras manusia dalam membahas dan meneliti dalam waktu yang lama, dan dengan menggunakan metode ilmiah dan falsafi.[10]Selain itu, Argumen-argumen yang dibawa Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada argumen-argumen yang ditimbulkan filsafat. Tetapi filsafat dan Al-Qur’an tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa filsafat. Ringkasnya, mempelajari filsafat dan berfalsafat tidak dilarang, karena teologi adalah bagian dari filsafat, dan umat Islam diwajibkan belajar teologi.[11]


2.      Ar-Razi
Ar-Razi adalah seorang filsuf muslim rasionalis murni. Ia sanagt mempercayai kekuatan akal. Akal dalam filsafat Ar-Razi menempati posisi yang sangat tinggi. Ia diberi ruang gerak yang sangat bebas. Oleh karena itu, pikiran Ar-Razi dalam kacamata umum dianggap telah meninggalkan agama karena sedikitpun ia tidak mau menundukkan akalnya dibawah doktrin.[12]Diantara faham yang bertentangan dengan faham yang dianut umat islam adalah tidak percaya pada wahyu,  Al-Qur’an tidak mukjizat, dan tidak percaya pada Nabi-Nabi.[13]

3.      Ibnu Tufail
Hubungan filsafat dan agama yang dikemukakan oleh Ibnu Tufail adalah filsafat sebagai bagian kebenaran yang esoteris hanya diperuntukkan bagi orang-orang terbatas yang memiliki kemampuan untuk memahami pengetahuan-pengetahuan murni. Semantara masyarakat kebanyakan cukup dengan agama dalam makna literalnya. Agama dalam pengertian seperti ini diperuntukkan bagi semua orang, tetapi filsafat hanya bagi orang-orang yang berbakat yang sedikit jumlahnya. Agama diperuntukkkan bagi orang-orang awam karna mereka tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari sebatas penjelasan-penjelasan lahiriah agama.[14]

4.      Ibnu Rusyd
Masalah agama dan falsafah atau wahyu dan akal bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam. Dalam hal ini Ibnu Rusyd tampil membela dan membenarkan kesesuaian ajaran agama dengan pemikiran falsafah. Ia menjawab semua keberatan Imam Al-Ghazali dengan mengemukakan argumen-argumen yang tidak kalah kuat dengannya. Menurut Ibnu rusyd, syara’ tidak bertentangan dengan filsafat, karena filsafat itu pada hakikatnya adalah tidak lebih daripada bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil adanya Pencipta. Dalam hal ini syara’ pun mewajibkan orang mempergunakan akalnya. Misalnya, “Apakah mereka tidak memikirkannya”. Maka dari itu jelaslah bahwa syara’ mewajibkan kita mempergunakan “kias akali” yang merupakan suatu keperluan yang tidak bisa dielakkan.
Tetapi, dalam hal ajaran filsafat yang bertentangn dengan Al-Qur’an dan Hadis maka Ibn Rusyd sependapat dengan al-Kindi, menjawab dengan konsep ta’wil yang lazim digunakan. Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang harus dipahami sesuai dengan lahirnya. Jadi, agama mempunyai dua dimensi yaitu lahir dan batin. Jika ajaran lahirnya memang sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut adanya.[15]

IV.   KESIMPULAN
1.      Filsafat islam adalah hasil dari sebuah proses rumit, dimana sekalipun dengan sadar ia tidak mau melepaskan diri dari otoritas wahyu, namun ia juga dengan kesadaran penuh dan rasa hormat yang tinggi mengambil bahannnya dari luar Islam
2.      Menurut Mulyadi Kartanegara nama Filsafat Islam lebih tepat daripada Filsafat Muslim, Filsafat Arabataupun Filsafat dalam dunia Islam.
3.      Beberapa Filosof yang disebutkan disini diantaranya adalah Al-Kindi, Ar-Razi, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd.
4.      Al-Kindi berpendapat bahwa agama dan falsafah tidaklah harus dipertentangkan karena keduanya memberikan kebenaran yang serasi. Sekalipun ada perbedaan mungkin terletak pada isi kandungan, cara, sumber dan ciri khas.
5.      Falsafah Ar-Razi menurut pandangan umum sangat bertentangan dengan agama. Diantara pendapatnya yang melenceng yaitu ia tidak percaya pada Nabi-Nabi dan juga kemukjizatan Al-Qur’an.
6.      Menurut Ibnu Tufail, falsafah hanya diperuntukkan kepada orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan khusus. Sedangkan bagi orang awam tidak diperbolehkan, yang diperbolehkan adalah menjalankan agama sesuai dengan literaturnya.
7.      Ibnu Rusyd membela dan membenarkan kesesuaian ajaran agama dengan pemikiran falsafah. Akan tetapi dalam hal-hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, Ibnu Rusyd sependapat dengan Al-Kindi yang menjawab dengan konsep ta’wil yang lazim.

V.      PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun. Semoga dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua. Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian. Kritik dan saran yang konstruktif sangat saya butuhkan untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.

VI.   DAFTAR PUSTAKA
Budi Munawar-Rachman, Filsafat Islam dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta: Paramedia, 1996)
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004)
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986)


[1] Budi Munawar-Rachman, Filsafat Islam dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan  Renungan Religius Islam, (Jakarta: Paramedia, 1996), Hal. 320
[2] Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), Hal. 2-3
[3] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) Hal.14
[4] Opcit, Ahmad Zainul Hamdi, Hal. 46
[5] Sebagian besar karya Al-Kindi telah hilang. Dari risalah-risalahnya yang ada, 242 karya yang dinisbatkan Ibnu An Nadim kepadanya yang diklasifikasikan sebagai berikut: (1) Metafisika, (2) Logika, (3) Aritmatika, (4) Musik, (5) Astronomi, (6) Geometri, (7) Teologi, (8) Medis, (9) Astronomi, (10) Psikologi, (11) Politik, (12) Meteorologi, (13) Kimia, dan lain sebagainya.
[6] Terdapat perbedaan tentang tahun kelahiran Ar-Razi. Harun Nasution menyebut tahun 864, sedang H.A Mustafa menyebut tahun 865.
[7] Opcit, Ahmad zainul Hamdi, Hal. 59
[8] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Hal. 144
[9] Opcit, Harun Nasution, Hal. 47-48
[10] Opcit, Ahmad Daudy, Hal. 13-15
[11] Opcit, Harun Nasution, Hal. 15
[12] Opcit, Ahmad Zainul hamdi, Hal. 63
[13] Opcit, Harun Nasution, Hal. 25
[14] Opcit, Ahmad Zainul Hamdi, Hal. 179
[15] Opcit, Ahmad Daudy, Hal. 153-159