EPISTIMOLOGI
DALAM
PERSPEKTIF FILSAFAT ISLAM
A.
PENDAHULUAN
Secara historis, epistimologi bukanlah permasalahan pertama yang muncul dalam pikiran manusia.
Justru aktivitas filsafat dimulai dalam wilayah metafisika. Apa itu dunia? apa
itu jiwa? Dan sebagainya merupakan pertanyaan-pertanyaan pertama yang mengganggu pikiran manusia yang selanjutnya
mereka mencoba menemukan jawabannya. Akan tetapi, mereka mendapati berbagai
jawaban tentang hal-hal tersebut beragam dan saling bertentangan. Berangkat
dari fakta ini mereka sampai pada dunia luar, tetapi justru mereka arahkan
kepada dirinya sendiri tentang apakah intelek manusia mampu menjawab
permasalahan-permasalahan tersebut. Pada titik inilah manusia masuk dalam
kawasan epistimologi.[1]
Dalam makalah ini, saya akan
mencoba memaparkan bagaimanakah konsep epistimologi dalam perspektif filsafat islam.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian epistimologi?
2.
Apa sajakah objek epistimologi Islam?
3.
Bagaimanakah cara memperoleh ilmu pengetahuan?
4.
Bagaimanakah konsep para filosof tentang
epistimologi?
C.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Epistimologi
Epistimologi berasal dari Bahasa Yunani kuno, yaitu epistem yang
berarti pengetahuan dan logos yang berarti penjelasan atau ilmu. Jadi secara
etimologis, epistimologi adalah ilmu tentang pengetahuan.[2] Sedangkan secara terminologi
epistimologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan teori ilmu
pengetahuan, sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu.[3]
Epistimologi merupakan cabang filsafat yang yang membicarakan mengenai
hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik
dan metodik untuk menemukan prisip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek
kajian ilmu. Apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauhkah tingkat
kebenaran yang bisa dicapainya, dan kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai
dalam kajian ilmu, kebenaran obyektif, subyektif, absolut atau relatif. Subyek
ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas,
sehingga kajian ilmu pada realitasnya, selalu berada pada batas-batas, baik
batas-batas yang melingkupi hidup manusia sendiri, maupun batas-batas obyek
kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap batas-batas itu, dengan sendirinya
selalu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Jadi, epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang membahas sumber,
proses, syarat, batas, validitas dan hakekat pengetahuan. Epistimologi meliputi
berbagai sarana dan tata cara menggunakan sarana dan sumber pengetahuan untuk
mencapai kebenaran dan kenyataan. Perbedaaan dalam pemilihan asumsi ontologi
dengan sendirinya akan mengakibatkan perbedaan, yaitu akal, pengetahuan,
intuisi dan lain-lain.[4]
2.
Objek Epistimologi Islam
Dalam konsep filsafat Islam, kajian ilmu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri
yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an. Ayat tersebut mengkaji tentang
tuhan dan firman-Nya, alam dan manusia. Kajian terhadap kitab suci akan
melahirkan dimensi ilmu fisika atau ilmu alam, sedangkan kajiandalam manusia
akan menimbulkan ilmu antropologi atau ilmu humaniora.
Dari data ini jelas bahwa dalam agama Islam obyek ilmu tidak hanya dalam
ilmu agama, tetapi juga dalam alam dan mereka sendiri. Ini berarti manusi
dituntut untuk memperoleh pengetahuan dari ayat-ayat Tuhan, alam, maupun dari
diri mereka.[5]
3.
Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Ada beberapa jalan memperoleh pengetahuan yaitu empirisme, rasionalisme,
dan intusionisme.
Menurut empirisme bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantara
pancaindera. Pancaindera memperoleh kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata
dan kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia.
Menurut rasionalisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan
perantara akal. Akal berhajat pada bantuan pancaindera untuk memperoleh data
dari alam nyata, tapi akallah yang menghubungkan data ini satu dengan yang
lain, sehingga terdapatlah ilmu pengetahuan yang diperoleh Nabi untuk membawa
ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu.[6]
Adapun Intusionisme adalah kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki
manusia. Kemampuannya mirip instinct, tetpai berbeda dalam kesadaran dan
kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha.
Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.
Intuisi ini menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi,
indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh atau
spasial, sedangkan intuisi dapat mengahasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap.[7]
Dari teori di atas dapat kami simpulkan bahwa cara memperoleh ilmu
pengetahuan yaitu berasal dari wahyu dan akal. Wahyu merupakan pengetahuan yang
datang dari Tuhan, dan kebenarannya adalah mutlak dan akal tidak sanggup
mengubahnya. Akal merupakan perolehan pengetahuan dengan berfikir.
Kebenaran teori pengetahuan akal manusia sangatlah terbatas, ini
dikarenakan terbatasnya usia manusia, dan berkembangnya obyek bahasan, jadi
beda dengan kebenaran wahyu. Kebenaran manusia terbatas karena kebenaran yang
sesungguhnya berasal dari Tuhan.[8]
4.
Konsep Para Filosof Tentang Epistimologi
a.
Abu Yusuf Ya’qub ibn
Ishak Al-Kindi (Wafat 252 H)
Al-Kindi menyebutkan ada tiga
macam pengetahuan manusia, yaitu :[9]
1)
Pengetahuan Indrawi
Pengetahun indrawi terjadi
secara langsung ketika seseorang mengamati obyek-obyek material, kemudian dalam
proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berpindah ke imajinasi. Pengetahuan yang
diperoleh lewat jalan ini bersifat tidak tetap, tetapi selalu berubah dan
bergerak setiap waktu.
2)
Pengetahuan Rasional
Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang diperoleh menggunakan jalan
akal yang bersifat universal, tidak parsial dan immaterial. Pengetahuan ini
menyelidikinya sampai pada hakikatnya dan sampai pada kesimpulan bahwa manusia
adalah makhluk yang berfikir.
3)
Pengetahuan Isyraqi
Pengetahuan isyraqi merupakan
pengetahuan yang datang dan diperoleh langsung dari pancaran Nur Ilahi, puncak
pengetahuan dari pengetahuan ini adalah pengetahuan yang diperoleh Nabi untuk
membawakan ajaran yang berasal dari wahyu Tuhan. Menurutnya pengetahuan inilah
yang mutlak dan benar. Pengetahuan ini hanya dimilki oleh mereka yang berjiwa
suci dan dekat dengan Allah.
b.
Abu Nashr Al-Farabi
(257-329 H)
Menurut Al-Farabi, manusia memperoleh pengetahuan itu dari daya mengindra,
menghayal, dan berfikir. Yang mana ketiga daya ini merujuk pada kedirian
manusia, yaitu : jism, nafs, aql.
1)
Mengindra, daya ini memungkinkan manusia untuk
menerima rangsangan seperti panas dan dingin. Dengan daya ini manusia dapat
mengecap, membau, mendengar suara dan melihat.
2)
Menghayal, memungkinkan manusia untuk memperoleh
kesan dari hal-hal yang dirasakan setelah obyek itu lenyap dari jangkauan
indra. Daya ini adalah menggabungkan atau memisahkan seluruh kesan-kesan yang
ada sehingga menghasilkan potongan-potongan atau kombinasi-kombinasi yang
beragam. Hasilnya bisa jadi benar bisa jadi salah.
3)
Berfikir, daya ini memungkinkan manusia memahami
berbagai pengertian.[10]
c.
Abu Hamid Al-Ghazali
(450-505 H)
Setelah ia melewati masa skeptisitasnya, ia
mengkaji secara mendalam persoalan-persoalan epistemologi. Menurutnya, makrifat
hakiki adalah suatu pengetahuan yang menyingkap hakikat objek pengetahuan
(ma’lum) sedemikian sehingga tidak menyisakan satu bentuk keraguan dan tidak
menghadirkan kemungkinan kekeliruan atasnya.
Al-Ghazali pernah menelusuri lorong-lorong keraguan
dan sampai pada puncak keraguan. Namun, pada akhirnya ia terhidayah dan
menggapai keyakinan berkat pertolongan cahaya Ilahi. Ia terperosok ke lembah
skeptisitas lewat alur logika dan keluar darinya dengan jalan pengalaman mistik
dan intuisi irfani.
Dengan menghitung kesalahan
dan kekeliruan panca indra, ia lantas meragukan hal-hal yang indriawi dan
beranggapan bahwa sebagaimana akal bisa mengungkap semua kesalahan panca indra,
sangat mungkin akan hadir seorang pemikir lain yang mampu menyingkap kekeliruan
akal dan membatalkan pengetahuan yang dipandang gamblang oleh akal (seperti
angka sepuluh lebih besar dari tiga). Dan ia berkata bahwa dari mana kita yakin bahwa
kita dalam kondisi tidak tidur dan berkhayal. Oleh karena itu, kita bisa
meragukan segala sesuatu. Menurutnya, pengalaman mistik dan intuisi irfani
(al-kasy wa asy-syuhud al-’irfani). Akan tetapi, ia juga meyakini bahwa jalan
logika dan penalaran akal, dengan berpegang teguh pada syarat-syaratnya, sebagai
metode memahami hakikat eksternal. Ia menekankan bahwa hasil-hasil yang dicapai
oleh pengetahuan itu sangat berpijak kepada penguatan
argumentasi-argumentasinya.[11]
d.
Fakhr
al-Din ar-Razi (543-606 H)
Ia sama dengan para filosof
sebelumnya yang menganggap indra lahir dan akal sebagai alat untuk memahami
realitas luar, dan setelah menerima kenyataan adanya kekeliruan pada indra
lahir, ia kemudian meletakkan akal itu sebagai tolok ukur dalam penentuan
kesalahan yang dilakukan oleh indra lahir.
Menurutnya, ilmu itu ialah hubungan antara ‘âlim (yang
mengetahui) dengan ma’lum bidz-dzat (pengetahuan esensial). Ia juga menjelaskan
tentang keraguan-keraguan yang berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan
badihi dan gamblang, namun, menurutnya, keberadaan semua keraguan tersebut
tidak mampu menafikan kebenaran pengetahuan yang gamblang tersebut.[12]
D.
KESIMPULAN
1.
Epistimologi adalah cabang filsafat yang secara
khusus membicarakan teori ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan dan bagaimana
cara memperoleh pengetahuan itu.
2.
Obyek epistimologi atau pengetahuan islam adalah
Tuhan, alam dan manusia.
3.
Cara memperoleh pengetahuan ada tiga yaitu :
a.
Empirisme yaitu pengetahuan diperoleh dengan
perantara pancaindera.
b.
Rasionalisme yaitu pengetahuan yang diperoleh
menggunakan jalan akal yang bersifat universal.
c.
Intuisionisme yaitu kemampuan tingkat tinggi yang
dimiliki manusia yang merupakan hasil evolusi pemahaman tertinggi. Kemampuannya
mirip instinct, tetpai berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya.
4.
Konsep para filosof tentang epistimologi,
diantaranya :
a.
Al-Kindi menyebutkan ada tiga macam pengetahuan
manusia yaitu indrawi, rasional dan isyraqi.
b.
Menurut Al-Farabi menyebutkan tiga macam
pengetahuan manusia yaitu mengindera, mengkhayal dan berfikir.
c.
Menurut Al-Ghazali ada tiga akal dan indera bisa
saja salah dan diragukan kebenarannya. Menurutnya, pengalaman mistik
dan intuisi irfani lebih baik dari keduanya.
d.
Menurut Ar-Razi, akal sebagai pengkoreksi indra apabila terjadi kesalahan.
Walhasil, filsafat dalam Islam adalah
mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan
didukung oleh wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang tak
dapat terjangkau oleh metode empiris-rasional tersebut. Meskipun
metodologi pencaraian ilmu dalam Islam memiliki kesamaan dengan di Barat dalam
aspek rasionalitas, namun secara fundamental hal itu dapat dibedakan oleh
pandangan hidup atau worldview masing-masing peradaban.
E.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun. Semoga dapat menambah pengetahuan dan
bermanfaat bagi kita semua. Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik
dalam penyusunan maupun penyampaian. Kritik dan saran yang konstruktif sangat
saya butuhkan untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan Modern,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004).
Ø
Dr. H. Musa Asy’ari, dkk, Filsafat, RSFI,
Yogyakarta; 1992.
Ø
Drs. H. Fathul Mufid, M.Si, Filsafat Ilmu
Islam, STAIN KUDUS, 2008.
Ø
Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan
Bintang, Jakarta, 1973.
Ø
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Remaja Rosda
Karya, bandung, 2007
Ø
Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, Pustaka
Setia, Bandung, 1997.
Ø
http://kumpulanresume.blogspot.com/2010/12/epistemologi-dalam-filsafat-islam.html