MASALAH
KHILAFIYAH YANG DIPERDEBATKAN OLEH ALIRAN – ALIRAN ILMU KALAM
I.
PENDAHULUAN
Untuk memahami hakikat ajaran Islam yang
sebenarnya, kita harus mengenal kondisi – kondisi obyektif umat islam dari
zaman ke zaman. Dimensi aqidah islamiyah bagi umat islam, menurut laporan
sejarah merupakan masalah keagamaan yang pertama-tama diperdebatkan,
sehingga mendorong lahirnya berbagai firqoh (sekte) dalam islam yang dilatarbelakangi faktor politik pada
awal pertumbuhannya sepeninggal Rasulullah SAW.[1] Misalnya saja pelaku dosa besar dihukumi kafir ataukah masih
mukmin, manusia bebas berkehendak ataukah ada yang mengaturnya, Al-Qur’an qodim
atau hadist, dan lain sebagainya yang merupakan masalah-masalah khilafiah yang
diperdebatkan oleh aliran-aliran ilmu kalam.
Dalam makalah ini, kami akan menguraikan
hal-hal yang dikhilafiahkan oleh aliran-aliran ilmu kalam.
II.
PERMASALAHAN
A.
Posisi pelaku dosa besar.
B.
Perbuatan
manusia.
C.
Tuhan,
bisa dilihat atau tidak.
D.
Al-Qur’an,
qodim
atau hadist.
E.
Tuhan mempunyai sifat atau tidak.
III.
PEMBAHASAN
A.
Dosa Besar
Kaum khawarij terdiri dari pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang
meninggalkan barisannya karena tidak setuju pada sikap Ali dalam menerima
arbitrase dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk menyelesaikan persengketaan
tentang khilafah.[2] Kemudian
persoalan ini meluas, mereka berpendapat bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar
dapat diterima. Sedangkan Ustman, mereka anggap telah menyeleweng mulai dari tahun
ke-7 masa kekhalifahannya. Dan Ali juga mereka anggap menyeleweng sesudah
peristiwa arbitrase. Sejak dari itulah Ali dan Ustman mereka anggap kafir,
demikian halnya dengan Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, serta
orang-orang yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran islam.[3] Dari situlah kemudian kaum khawarij mengatakan bahwa orang yang berdosa
besar adalah kafir, dalam arti keluar dari islam atau tegasnya dia murtad, oleh
karena itu wajib dibunuh.
Kaum murji’ah
pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentengan-pertentangan yang
terjadi ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau
tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan kepada Tuhan. Namun demikian
persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi
bahan perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kaum murji’ah menjatuhkan
hukum mukmin bagi orang yang berdosa besar. Adapun dosa besar yang mereka
perbuat itu ditunda penyelesaiannya dihari perhitungan kelak. Argumentasi
mereka yaitu orang islam yang berdosa besar itu tetap mengakui Allah dan
RosulNya. Oleh karena itu orang yang
berdosa besar tetap mu’min dan bukan kafir.[4]
Kaum mu’tazilah
yang
secara bahasa artinya memisahkan diri. Yaitu memisahkan diri dari gurunya,
Hasan Basri, mereka berpendapat bahwa
orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir atau disebut faham
Al-Manzilah baina manzilatain (posisi diantara dua posisi dalam arti posisi
menengah) dalam hal ini disebut fasiq. Kata mukmin dalam pendapat wasil
merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan pada fasiq dengan
dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tidak pula dapat diberikan padanya karena
dibalik dosa besar ia masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan amalan-amalan
baik. Orang yang serupa ini, kalau meninggal tanpa taubat akan kekal dalam
neraka, hanya siksanya lebih ringan dari orang kafir. Demikian pendapat Wasil
ibnu Atha’.[5]
Bagi asy’ariyah dan maturidiyah, mereka berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan
kalau di akhirat. Hal ini juga sesuai pendapat kaum murji’ah. Mereka juga
menolak faham posisi menengah kaum mu’tazilah. Dengan alasan, sekiranya orang
berdosa besar bukan mukmin atau bukan kafir, maka dalam dirinya tidak ada kufr
atau iman, dengan demikian bukanlah ia atheis ataupun monotheis, tidak teman tidak
juga musuh,. Hal serupa tidak mungkin terjadi, oleh
karena itu pula tidak mungkin orang
berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir.[6]
B.
Perbuatan Manusia
Kebebasan dan
ikhtiar manusia di dalam berbuat merupakan perdebatan yang panjang dalam bidang
teologi. Aliran-aliran teologi dalam islam masih mempertanyakan hal tersebut,
benarkah manusia punya hak untuk memilih dan menentukan perbuatannya sendiri
atau seperti yang digambarkan dalam salah satu sekte, bahwa manusia hanyalah
bagaikan wayang melakoni keinginan sang dalang. Kedua pendapat tadi
masing-masing dikenal dengan jabariah dan qodariah.[7] Pendapat yang mengatakan manusia tidak bebas berbuat menurut
kehendak dan kemauannya, ia hanya seperti wayang yang dijalankan sang dalang
yaitu Tuhan, paham ini disebut paham jabariah. Sedangkan pendapat yang
mengatakan manusia mempunyai kebebasan berbuat, sehingga perbuatan baik dan
buruk adalah kehendak manusia sendiri bukan kehendak Tuhan adalah paham
Qodariyah.[8]
Kaum mu’tazilah berfaham qodariah yang menyatakan manusia punya pilihan dan
kebebasan dalam perbuatannya sekalipun
kebebasan manusia ditentukan oleh keterbatasan manusia itu sendiri. Apakah
perbuatan itu baik atau buruk, beriman atau kafir. Untuk itu Tuhan memberi daya
pada manusia untuk menentukan langkah perjalanannya, selanjutnya Tuhan akan
membalasnya sesuai dengan apa yang diperbuat oleh manusia.
Kaum asy’ariyah
berfaham jabariah yang menyatakan bahwa perbuatan manusia semata-mata kehendak
Tuhan. Pijakannya dalam hal ini Q.S Ash-Shaffat: 96 yang artinya “Dan
Allahlah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu kerjakan”. Jadi manusia hanya
menuruti kehendak Tuhan dan manusia tidak pernah menetapkan perbuatnnya.
Manusia tidak memiliki kebebasan untuk menetukan ikhtiarnya sendiri. Daya
manusia adalah daya Tuhan, gerak manusia ditentukan oleh kekuasaan mutlak
Tuhan. Hal ini juga didukung oleh Al Ghazali.
Kaum maturidiah
terbagi menjadi dua : maturidiah samarkand yang menganut faham qodariah atau free will yang
dipelopori oleh Al Maturidi dan cenderung mendukung mu’tazilah yang mengatakan
bahwa Tuhan tidak berkuasa mutlak dalam menentukan perbuatan manusia. Namun
kebebasan ini lebih sempit dibanding pemahaman mu’tazilah karena walaupun
manusia bebas berbuat, namun Tuhan juga memberikan daya pada manusia agar ia
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sedangkan maturidiah
bukhara yang ditokohi oleh Al-Badawi mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah
ciptaan Tuhan. Menurutnya perbuatan tersebut adalah perbuatan manusia yang
bersifat majazi, artinya perbuatan tersebut tetap dibayangi oleh kehendak Tuhan.[9]
C.
Melihat Tuhan
Kaum mu’tazilah
berpendapat, logika mengatakan bahwa Tuhan, karena bersifat immaterial tak
dapat dilihat dengan mata kepala.[10] Sebagai argumen, Abd al-Jabbar mengatakan bahwa Tuhan tak mengambil
tempat dan dengan demikian tak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat
hanyalah yang mengambil tempat. Dan juga kalau Tuhan dapat dilihat sekarang
dalam alam ini juga. Dan tak ada yang dapat melihat Tuhan di alam ini.[11]
Kaum asy’ariah
sebaliknya, berpendapat bahwa Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata
kepala di akhirat nanti. Argumen yang dimajukan Al Asy’ari yang tak dapat
dilihat hanyalah yang tak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat,
dan seterusnya menurut Al Asy’ari, Tuhan melihat apa yang ada, dengan demikian melihat diri-Nya juga, kalau
Tuhan melihat diri-Nya, ia akan dapat melihat manusia bisa melihat Tuhan.
Kaum maturidiah
dalam hal ini sefaham dengan kaum asy’ariah. Al-Maturidi juga berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat karena Ia mempunyai wujud. Menurut
Al-Bazdawi, Tuhan dapat dilihat sungguh pun tidak mempunyai
bentuk, tidak mengambil tempat, dan tak terbatas.[12]
Menurut pendapat Muhammad Abduh, orang yang percaya pada tanzih (keyakinan
bahwa tidak ada satu makhluk pun yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan
bahwa Tuhan tidak dapat digambarkan atau dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan
melihat Tuhan hanya dianugerahkan pada orang-orang tertentu. Di akhirat, Tuhan
tidak dilihat dengan mata kepala, tapi dengan suatu daya yang ada pada manusia
ataupun daya baru yang akan diciptakan dalam dirinya dan mungkin dalam hatinya.
Jelas kiranya bahwa Muhammad Abduh berpendapat bahwa
Tuhan tak dapat dilihat dengan mata kepala.[13]
D.
Al-Qur’an
Mengenai sabda
Tuhan atau kalam Allah atau tegasnya Al-Qur’an. Persoalannya dalam teologi
ialah : kalau sabda merupakan sifat, sabda mesti kekal, tetapi sebaliknya,
sabda adalah tersusun dan oleh karena itu mesti diciptakan dan tak mungkin
kekal.
Kaum mu’tazilah mengatakan bahwa sabda bukanlah
sifat tetapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian Al-Qur’an bukanlah bersifat kekal
tapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Argumen mereka, Al-Qur’an tersusun
dari bagian-bagian yang berupa ayat dan surat, ayat yang satu mendahului ayat
yang lain, begitu pula surat yang satu mendahului surat yang lain pula. Adanya
sifat terdahulu dan sifat datang kemudian, membuat sesuatu itu tidak bersifat
qodim (tak bermula), karena yang tak bermula tak dapat didahului oleh apapun.
Seperti yang dikemukakan dalam Q.S. Hud : 1 ,menurut ayat ini, ayat-ayat Al-qur’an dibuat sempurna
dan kemudian dibagi-bagi jelasnya, demikian kaum mu’tazilah mengatakan. Al
Qur’an sendiri mengakui bahwa Al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian dan yang
tersusun tidak bisa tidak bersifat kekal dalam arti qodim.
Kaum asy’ariah
berpegang bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat, Tuhan mestilah kekal
(qodim), mereka memberikan definisi lain tentang sabda. Sabda bagi mereka adalah
arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Sabda dalam arti abstrak inilah
yang dapat bersifat kekal. Dalam arti huruf, kata, ayat, dan surat yang ditulis
atau dibaca, Al-Qur’an bersifat baharu serta diciptakan dan bukanlah sabda
Tuhan.
Kaum maturidiah sependapat
dengan kaum asy’ariah bahwa sabda Tuhan atau Al-Qur’an bersifat kekal.
Al-Qur’an, kata Al-Maturidi, adalah sifat kekal dari Tuhan, satu, tidak
berbagi, dan tidak berbahasa Arab.
E.
Sifat-Sifat Tuhan
Pertentangan
faham antara kaum mu’tazilah dengan kaum asy’ariah dalam masalah ini berkisar
apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu
mestilah kekal seperti halnya dengan Zat Tuhan. Dan selanjutnya jika
sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tapi banyak.
Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa pula pada faham syirik atau
politheisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi.
Kaum mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan,
sebagaimana dijelaskan oleh Al-Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai
pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak punya hajat, dan lain sebagainya.
Ini tidak berarti Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, bukanlah sifat dalam arti
yang sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui”, kata Al-Huzali sendiri adalah Tuhan
mengetahui dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan
sendiri. Dengan demikian pengetahuan adalah Tuhan sendiri yaitu Zat atau Esensi
Tuhan bukan merupakan sifat.
Kaum asy’ariah
berbeda pendapat dengan mu’tazilah. Mereka mengatakan Tuhan mempunyai sifat.
Menurut Al-Asy’ar sendiri, tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan mempunyai sifat,
karena perbuatan-perbuatannya, disamping menyatakan bahwa Tuhan
mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa Ia
mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Dan menurut Al-Bagdadi, terdapat konsensus
dikalangan kaum asy’ariah bahwa daya, kemauan, pengetahuan, pendengaran,
penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, kata Al-Ghazali
tidaklah sama dengan, malahan lain dari Tuhan, tapi berwujud dalam Esensi itu
sendiri.
Kaum maturidiah
karena mereka mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, mereka berpendapat Tuhan
mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan
mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam
esensi Tuhan dan bukan melalui sifat-sifat itu sendiri.[14]
IV.
KESIMPULAN
1.
Pelaku
dosa besar menurut berbagai aliran:
a.
Kaum
Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar disebut kafir atau lebih tegasnya
murtad . Dan oleh sebab itu wajib dibunuh.
b.
Kaum
Murjiah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir.
Adapun dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaiannya.di hari
perhitungan.
c.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa
besar itu tidak bisa dihukumi mukmin dan tidak pula dihukumi kafir atau al
manzilah baina manzilatain.
d.
Kaum Asy’ariyah dan maturidiah berpendapat bahwa
orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan soal dosa besarnya akan ditentukan
Tuhan kelak di akhirat (sesuai pendapat kaum murji’ah).
2.
Perbuatan
manusia menurut berbagai aliran:
a. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia bebas
berbuat apakah itu perbuatan baik atau buruk (berpaham qodariah).
b. Kaum Asy’ariah berpendapat bahwa perbuatan
manusia itu semata-mata kehendak Tuhan (berpaham jabariah).
c. Kaum Maturidiah Samarkan cenderung mendukung
mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa mutlak dalam menentukan
perbuatan manusia (berpaham qodariah atau free will).
3.
Melihat Tuhan,
menurut berbagai aliran:
a.
Kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata kepala karena
Tuhan bersifat immateril dan tak mengambil tempat.
b.
Kaum
Asy’ariah berpendapat bahwa Tuhan dapat dapat dilihat oleh manusia dengan mata
kepala di akhirat.
c.
Kaum
Maturidiah sependapat dengan Asy ‘ariah bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia
dengan mata kepal di akhirat.
d.
Menurut Muhammad Abduh, Tuhan tidak dapat dilihat
dengan mata kepala tetapi dengan suatu daya yang ada pada manusia ataupun daya baru
yang akan diciptakan dalam dirinya dan mungkin dalam hatinya (Ainul Bashar).
4.
Al-Qur’an,
qodim, atau hadis menurut berbagai
aliran:
a.
Kaum Mu’tazilah berpendapat
bahwa al-Qur’an adalah hadis/baharu.
b.
Kaum
Asy’ariah berpendapat bahwa al-Qur’an
yang bukan tersusun dari kata-kata, surat-surat, tetapi makna abstraknya
bersifat kekal. Sedangkan al-Qur’an yang tersusun dsri kata-kata, ayat, surat, dan bisa dibawa
bersifat hadis atau baru.
c.
Kaum
Maturidiah juga sependapat dengan Asy’ariah dalam hal ini.
5.
Sifat-sifat
Tuhan menurut berbagai aliran:
a.
Kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Karena jika mempunyai
sifat maka tidak hanya yang Tuhan yang kekal namun banyak yang kekal.
b.
Kaum
Asy’ariah dan Maturidiah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mengenai
persoalan banyak yang kekal mereka berpendapat sifat-sifat Tuhan kekal melalui
kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Drs. H. Fathul Mufid, M.S.I , Ilmu Tauhid / Kalam, STAIN Kudus, 2009
Ø Harun Nasution, Teologi Islam, Penerbit Universitas Indonesia, 1999
Ø Tsuroyo Kiswati, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Nasional dalam Islam, PT. Gelora
Aksara Pratama, 1993
Ø Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’taziah, Jakarta, UI Press, 1987
[1] Drs.H.Fathul Mufid, Ilmu
Tauhid / Kalam, STAIN Kudus, 2009, hlm.3
[2] Harun Nasution, Teologi Islam,
Penerbit Universitas Indonesia,
1999, hlm.11
[3] Ibid, Harun Nasution, hlm. 12
[4] Ibid, Harun Nasution, hlm. 23
[5] Ibid, Harun Nasution, hlm. 35
[6] Ibid, Harun Nasution, hlm. 71
[7] Opcit, Fathul Mufid, hlm.145
[8] Tsuroyo Kiswati, Al Juwaini
Peletak Dasar Teologi Nasional dalam Islam, PT Gelora Aksara Pratama, 1993,
hal 116
[9] Opcit, Fathul Mufid, hlm. 145-150
[10] Opcit, Tsuroyo Kiswati, hlm. 105
[11] Opcit, Harun Nasution, hlm. 139
[12] Opcit, Harun Nasution, hlm. 140
[13] Harun Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta, UI Press, 1987, hlm.81
[14] Opcit, Harun Nasution, hlm.135-136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar