Sabtu, 17 Maret 2012

Reward and Punisment

REWARD AND PUNISHMENT

I.         PENDAHULUAN
Reward dan punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasinya. Kedua metode ini sudah cukup lama dikenal dalam dunia pendidikan. Tidak hanya dalam dunia pendidikan, dalam dunia kerja pun kedua metode ini kerap kali digunakan. Namun selalu terjadi perbedaan pandangan, mana yang lebih diprioritaskan antara reward dengan punishment?
Dalam makalah ini kami akan mencoba memaparkan tentang konsep “Reward and Punishment” dalam dunia pendidikan.

II.      PERMASALAHAN
A.    Pengertian Reward and Punishment
B.     Prinsip-Prinsip Pemberian Reward and Punishment
C.     Keseimbangan antara Reward and Punishment
D.    Contoh Konkret Reward and Punishment

III.   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Reward and Punishment
Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Reward sebagai alat pendidikan diberikan ketika seorang anak melakukan sesuatu yang baik, atau telah berhasil mencapai sebuah tahap perkembangan tertentu, atau tercapainya sebuah target. Dalam konsep pendidikan, reward merupakan salah satu alat untuk peningkatan motivasi para peserta didik. Metode ini bisa meng-asosiasi-kan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dapat dicapainya.[1] Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud yang bunyinya :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُفُّ عَبْدَ اللهِ وَ عُبَيْدَ اللهِ وَ كَثِيْرًا مِنْ بَنِيْ الْعَبَّاسِ ثُمَّ يَقُوْلُ مَنْ سَبَقَ اِلَيَّ فَلَهُ كَدَا وَ كَدَا قَالَ فَيَسْتَبِقُوْنَ اِلَيْهِ فَيَقَعُوْنَ عَلَى ظَهْرِهِ وَ صَدْرِهِ فَيَقَبَّلُهُمْ وَ يَلْزَمُهُمْ (رواه احمد )
Pada suatu ketika Nabi membariskan Abdullah, Ubaidillah, dan anak-anak paman beliau, Al-Abbas. Kemudian, beliau berkata : “ Barang siapa yang terlebih dahulu sampai kepadaku, dia akan mendapatkan ini dan itu.” Lalu mereka berlomba-lomba untuk sampai kepada beliau. Kemudian mereka merebahkan diri di atas punggung dan dada beliau. Kemudian, beliau menciumi dan memberi penghargaan.” ( HR. Ahmad )

Sementara punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi. punishment biasanya dilakukan ketika apa yang menjadi target tertentu tidak tercapai, atau ada perilaku anak yang tidak sesuai dengan norma-norma yang diyakini oleh sekolah tersebut. Jika reward merupakan bentuk reinforcement yang positif; maka punishment sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang dilakukan mesti bersifat pedagogies, yaitu untuk memperbaiki dan mendidik ke arah yang lebih baik.[2]Seorang guru atau orang tua diperbolehkan memukul dengan pukulan yang tidak keras. Ini dilakukan ketika beberapa cara seperti menasehati, menegur, tidak mempan juga. Hukuman ini terutama menyangkut kewajiban shalat bagi anak-anak yang usianya telah mencapai sepuluh tahun.[3]
Nabi SAW bersabda :

عَنْ عُمَرُوبْنُ شُعَيْبِ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مُرُوْا اَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُم اَبْنَاءُ سِنِيْنَ وَاضْرِبُهُمْ اَبْنَاءَ عَشَرَ وَ فَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِيْ الْمَضَاجِعِ ( رواه ابو داود )[4]
Dari Amr Bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata : Raulullah SAW bersabda : “perintahkanlah anakmu untuk melakukan shalat, pada saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka pada saat mereka berusia sepuluh tahun jika mereka meninggalkan shalat dan pisahkanlah mereka dalam hal tempat tidur.” (HR. Abu Dawud)

Dalam nasehat Rasulullah itulah terkandung cara mendidik anak yang dilandasi dengan kasih sayang, dan menomor duakan hukuman. Bukankah beliau terlebih dahulu menyuruh membiasakan anak mengerjakan shalat mulai usia tujuh tahun? Kalau tiga tahun setelah itu, ternyata belum juga shalat, sangat wajar jika diberikan hukuman.[5]
Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan. Ada orang-orang yang baginya teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya diantara mereka ada yang perlu dikerasi sekali-kali.
Hukuman bukan pula tindakan yang pertama kali terbayang oleh seorang pendidik, dan tidak pula cara yang didahulukan. Nasehatlah yang paling didahulukan begitu juga ajaran untuk berbuat baik, dan tabah terus menerus semoga jiwa orang itu berubah sehingga dapat menerima nasehat tersebut.[6]



B.     Prinsip-Prinsip Pemberian Reward and Punishment
1.      Prinsip-Prinsip Pemberian Punishment
a.       Penilaian didasarkan pada ’perilaku’ bukan ’pelaku’. Untuk membedakan antara ’pelaku’ dan ’perilaku’ memang masih sulit. Apalagi kebiasaan dan presepsi yang tertanam kuat dalam pola pikir kita yang sering menyamakan kedua hal tersebut. Istilah atau panggilan semacam ’anak shaleh’, anak pintar’ yang menunjukkan sifat ’pelaku’ tidak dijadikan alasan peberian penghargaan karena akan menimbulkan persepsi bahwa predikat ’anak shaleh’ bisa ada dan bisa hilang. Tetapi harus menyebutkan secara langsung perilaku anak yang membuatnya memperoleh hadiah.
b.      Pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya. Pemberian hadiah tidak bisa menjadi metode yang dipergunakan selamanya. Proses ini cukup difungsikan hingga tahapan penumbuhan kebiasaan saja. Manakala proses pembiasaan dirasa telah cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri. Maka hal terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin kepada anak tentang pembatasan ini.
c.       Penghargaan berupa perhatian. Alternatif bentuk hadiah yang terbaik bukanlah berupa materi, tetapi berupa perhatian, baik verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa komentar-komentar pujian, seperti, ’Subhanallah’, Alhamdulillah’, indah sekali gambarmu’. Sementara hadiah perhatian fisik bisa berupa pelukan, atau acungan jempol.
d.      Dimusyawarahkan kesepakatannya. Setiap anak yang ditanya tentang hadiah yang dinginkan, sudah barang tentu akan menyebutkan barang-barang yang ia sukai. Maka disinilah dituntut kepandaian dan kesabaran seorang guru atau orang tua untuk mendialogkan dan memberi pengertian secara detail sesuai tahapan kemampuan berpikir anak, bahwa tidak semua keinginan kita dapat terpenuhi.
e.       Distandarkan pada proses, bukan hasil. Banyak orang lupa, bahwa proses jauh lebih penting daripada hasil. Proses pembelajaran, yaitu usaha yang dilakukan anak, adalah merupakan lahan perjuangan yang sebenarnya. Sedangkan hasil yang akan diperoleh nanti tidak bisa dijadikan patokan keberhasilannya.[7]
2.      Prinsip-Prinsip Pemberian Punishment
a.       Kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman. Metode terbaik yang tetap harus diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada anak. Memberikan kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka dengan kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita memberikan pengakuan bahwa kita yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka hanya khilaf atau mendapat pengaruh dari luar.
b.      Hukuman distandarkan pada perilaku. Sebagaimana halnya pemberian hadiah yang harus distandarkan pada perilaku, maka demikian halnya hukuman, bahwa hukuman harus berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan ’pelaku’ nya. Setiap anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan pernah mau dicap jelek, meski mereka melakukan suatu kesalahan.
c.       Menghukum tanpa emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua dan pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan. Bahkan emosi kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi tak efektif.
d.      Hukuman sudah disepakati. Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus dimusyawarahkan dan didiologkan terlebih dahulu, maka begitu pula yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman. Adalah suatu pantangan memberikan hukuman kepada anak, dalam keadaan anak tidak menyangka ia akan menerima hukuman, dan ia dalam kondosi yang tidak siap. Mendialogkan peraturan dan hukuman dengan anak, memiliki arti yang sangat besar bagi si anak. Selain kesiapan menerima hukuman ketika melanggar juga suatu pembelajaran untuk menghargai orang lain karena ia dihargai oleh orang tuanya.
e.       Tahapan pemberian hukuman. Dalam memberikan hukuman tentu harus melalui beberapa tahapan, mulai dari yang teringan hingga akhirnya jadi yang terberat.[8]

C.     Keseimbangan antara Reward and Punishment
Segala sesuatu perlu ukuran, perlu keseimbangan. Yaitu proporsi ukuran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Belum tentu ukuran tersebut harus berbagi sama. Keseimbangan imbalan dan hukuman pun tidak berarti harus diberikan dalam porsi sama, satu-satu.
Yang akan dipakai sebagai standar keseimbangan adalah sama seperti standar yang dipergunakan Allah SWT dalam memberikan pahala dan dosa bagi hamba-hambaNya. Seperti kita ketahui, Allah menjanjikan pahala bagi manusia, untuk sekedar sebuah niat berbuat baik. Manakala niat itu diwujudkan dalam bentuk sebuah amal, Allah akan membalasnya dengan pahala yang bukan hanya satu, melainkan berlipat ganda. Sebaliknya, Allah mempersulit pemberian dosa bagi hambaNya. Niat untuk bermaksiat belumlah dicatat sebagai dosa, kecuali niat itu terelaksana, itupun bisa segera Dia hapuskan ketika kita segera beristigfar.
Keseimbangan inilah yang harus kita teladani dalam memberikan imbalan dan hukuman kepada anak. Kita harus mengutamakan dan mempermudah memberikan penghargaan dan hadiah kepada anak dan meminimalkan pemberian hukuman.
Metode pemberian hukuman adalah cara terakhir yang dilakukan, saat sarana atau metode lain mengalami kegagalan dan tidak mencapai tujuan. Saat itu boleh melakukan penjatuhan hukuman. Dan ketika menjatukan hukuman harus mencari waktu yang tepat serta sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan.[9]

D.    Contoh Konkret Reward and Punishment
1.      Contoh konkret reward
v  Pujian yang mendidik. Seorang guru yang sukses hendaknya memberi pujian kepada siswanya ketika ia melihat tanda yang baik pada perilaku siswanya. Misalnya ketika ada seorang murid yang telah memberikan jawaban atas pertanyaan yang ia diberikan.
v  Memberi Hadiah. Seorang guru hendaknya merespon apa yang disukai seorang anak. Ia harus bisa memberikan hadiah-hadiah tersebut pada kesempatan yang tepat. Misalnya, kepada siswa yang rajin, berakhlak mulia, dan lain sebagainya.
v  Mendoakan. Seorang guru hendaknya memberi motivasi dengan mendoakan siswanya yang rajin, sopan dan rajin mengerjakan shalat. Sang guru bisa saja mendoakan dengan mengatakan, “ Semoga Allah memberikan taufik untukmu,” “Saya harap masa depanmu cemerlang”.
v  Papan Prestasi yang ditempatkan di lokasi strategis pada lingkungan sekolah merupakan sarana yang sangat bermanfaat. Pada papan nama itu, dicatat nama-nama siswa berprestasi, baik dari berperilaku, kerajinan, kebersihan maupun dalam pelajarannya.
v  Menepuk pundak. Pada saat salah seorang siswa maju ke depan kelas untuk menjelaskan pelajaran atau menyampaikan hafalannya, dll. Maka seorang guru sudah sepantasnya bila menepuk pundak siswa tersebut pada saat ia melaksanakan tugasnya dengan baik. Ini dilakukan untuk memberi motivasi padanya.[10]
2.      Contoh Konkret Punishment ( Sanksi yang Mendidik )
v  Menasehati dan memberi arahan. Keduanya merupakan metode dasar dalam pendidikan dan pengajaran yang sangat diperlukan. Pendidik agung kita, Nabi Muhammad SAW, telah melaksanakan metode ini kepada anak kecil dan pada orang dewasa.
v  Bermuka masam. Seorang guru dapat saja kadang-kadang memasang muka masam di hadapan murid-muridnya jika ia melihat kegaduhan. Ini dilakukan agar ia dapat menjaga ketenangan dan ketrentaman proses belajar mengajar. Tentu ini lebih baik daripada membiarkan para siswa terlebih dulu, hingga kelewatan baru guru tersebut menjatuhkan sanksi para siswa.
v  Membentak. Seringkali seorang guru terpaksa membentak salah seorang siswa yang banyak mengajukan pertanyaan yang mengganggu proses belajar mengajar. Atau siswa yang berani melecehkan si guru dan melakukan kesalahan-kesalahan lain.
v  Melarang melakukan sesuatu. Pada saat si guru melihat sebagian muridnya ribut berbicara pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar, maka bisa saja si guru melarang muridnya itu bebicara dengan suara keras. Nabi Muhammad SAW juga meminta seseorang yang bersendau gurau di hadapan beliau untuk menahan serdawanya, “Tahanlah serdawanmu pada saat bersama kami.”[11]
v  Berpaling. Dengan keberpalingan ini sang guru atau ayahnya, siswa akan merasa ia telah melakukan kesalahan. Dengan begitu, ia tidak akan mengulangi kesalahannya itu. 
v  Tidak menyapa. Seseorang pendidik dapat saja tidak menyapa anak atau siswanya ketika mereka meniggalkan shalat atau menonton bioskop misalnya. Waktu terlama tidak menyapa adalah tiga hari. Ini berdasar sabda Nabi SAW, “Seorang muslim tidak dibenarkan mendiamkan saudaranya di atas tiga hari.[12]
v  Teguran. Seorang pendidik harus menegur siswa atau anaknya pada saat ia melakukan dosa besar dan tidak mempan lagi dengan nasihat dan arahan.
v  Sanksi sang ayah. Jika seorang siswa berulang kali melakukan kesalahan, maka seorang guru hendaknya mengirim anak pada walinya dan memintanya untuk memberikan sanksi setelah terlebih dahulu memberi nasihat pada si anak. Dengan begitu akan terjadi kerjasama yang baik antara pihak sekolah dan orang rumah dalam mendidik anak didik.
v  Menggantungkan tongkat. Dianjurkan seorang guru dan seorang pendidik menggantungkan cambuk yang diletakkan di tembok kelas agar para siswa dapat melihatnya lalu menjadi jera dengan sanksi itu. Ini berdasar hadis Nabi SAW, “Gantunglah cambuk sehingga dapat dilihat oleh semua anggota keluarga, karena itu pengajaran yang baik bagi mereka.[13]
v  Memukul tidak keras. Seorang guru dan seorang ayah diperbolehkan memukul dengan pukulan yang tidak keras. Ini dilakukan jika beberapa cara di atas tidak mempan juga.[14]


IV.   KESIMPULAN
1.      Pengertian reward dan punishment
Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan yang diberikan ketika seorang anak melakukan sesuatu yang baik, atau telah berhasil mencapai sebuah tahap perkembangan tertentu, atau tercapainya sebuah target.
Sementara punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi yang  dilakukan ketika apa yang menjadi target tertentu tidak tercapai, atau ada perilaku anak yang tidak sesuai dengan norma-norma yang diyakini oleh sekolah tersebut.
2.      Prinsip-prinsip pemberian reward and punishment
a.       Prinsip-prinsip pemberian reward
Ø  Penilaian didasarkan pada ’perilaku’ bukan ’pelaku’.
Ø  Pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya.
Ø  Alternatif penghargaan lain bisa berupa perhatian.
Ø  Pemberian hadiah harus dimusyawarahkan kesepakatannya.
Ø  Distandarkan pada proses, bukan hasil.
b.      Prinsip-prinsip pemberian punishment
Ø  Kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman.
Ø  Hukuman distandarkan pada perilaku.
Ø  Menghukum tanpa emosi.
Ø  Hukuman sudah disepakati.
Ø  Hukuman harus mempunyai tahapan.
3.      Keseimbangan antara reward dan punishment
Yang akan dipakai sebagai standar keseimbangan adalah sama seperti standar yang dipergunakan Allah SWT dalam memberikan pahala dan dosa bagi hamba-hambaNya. Jadi, Kita harus mengutamakan dan mempermudah memberikan penghargaan dan hadiah kepada anak dan meminimalkan pemberian hukuman.


4.      Contoh konkret reward and punishment

a.       Contoh reward
Ø  Pujian yang mendidik.
Ø  Memberi Hadiah.
Ø  Mendoakan.
Ø  Papan Prestasi yang ditempatkan di lokasi strategis
Ø  Menepuk pundak.
Ø  Dan lain-lain.

b.      Contoh punishment
Ø  Menasehati dan memberi arahan.
Ø  Bermuka masam.
Ø  Melarang melakukan sesuatu.
Ø  Berpaling.
Ø  Memukul tidak keras.
Ø  Dan lain-lain.

V.      DAFTAR PUSTAKA
Ø  Muhammad Jameel Zeeno, Resep Menjadi Pendidik Sukses Berdasarkan Petujuk Al-Qur’an dan Teladan Nabi Muhammad, Jakarta ; Hikmah, 2005.
Ø  Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, Pustaka Inti ; Jakarta, 2002.
Ø  Salman Harun, Sistem Pendidikan Islam, PT. Al-Ma’arif ; Bandung, 1984,
Ø  http : //my opera.com/Subchi-Al-Fikri/blog/penghargaan(reward)-dan-hukuman(punishment)-dalam-pendidikan-islam.
Ø  Muhammad Kosim, Antara Reward dan Punishment, Rubrik Artikel, Padang Ekspres, Senin, 09 Juni 2008.
Ø  Mu’jam Mufahras Li Alfadil Ahadis
Ø  Sunan Turmudi



[1] Muhammad Kosim, Antara Reward dan Punishment, Rubrik Artikel, Padang Ekspres, Senin, 09 Juni 2008. Hal. 1
[2]Muhammad Kosim, Ibid. Hal. 1
[3] Muhammad Jameel Zeeno, Resep Menjadi Pendidik Sukses Berdasarkan Petujuk Al-Qur’an dan Teladan Nabi Muhammad, Jakarta ; Hikmah, 2005, Hal. 114
[4] Sunan Turmudi, Juz II, Hadis ke-183 Hal. 416
[5] Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, Pustaka Inti ; Jakarta, 2002. Hal. 93
[6] Salman Harun, Sistem Pendidikan Islam, PT. Al-Ma’arif ;Bandung, 1984, Hal. 341
[7] http : //my opera.com/Subchi-Al-Fikri/blog/penghargaan(reward)-dan-hukuman(punishment)-dalam-pendidikan-islam.Hal. 6-7

[8] Subchi Al-Fikri, Hal. 7-8
[9] Subchi Al-Fikri, Hal. 9
[10] Muhammad Jameel Zeno, Opcit. Hal. 98-100
[11] Kualitas hadis ini hasan. Lih. Shahihul Jami’, 4367.
[12] Kualitas hadis ini sahih. Lih. Shahihul Jami’ 753.
[13] Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami’.
[14] Opcit, Hal. 110-115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar