MEMAHAMI HADIS
SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
I.
PENDAHULUAN
Agama islam adalah
agama yang sempurna, Allah telah melimpahkan karunia dan nikmatnya secara tuntas kedalam agama islam, dan Allah
rela islam dijadikan sebagai agama yang berlaku untuk semua umat manusia.[1] Pernyataan Allah itu
memberi
petunjuk bahwa agama islam selalu sesuai dengan segala waktu dan tempat, serta
untuk semua umat manusia dalam segala ras dan generasinya.
Kalau ajaran islam
sesuai dengan segala waktu dan tempat dihubungkan
berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat, berarti dalam islam
ada ajaran yang berlaku tidak terikat waktu dan tempat, disamping ada ajaran
yang terikat oleh waktu dan tempat tertentu. Jadi, dalam islam ada ajaran yang
bersifat Universal, ada yang Temporal, dan ada yang Lokal.[2]
Disinilah letak pemahaman hadis
Nabi secara
tekstual dan kontekstual itu menjadi penting.
Dalam makalah ini, kami akan menjelaskan
bagaimana cara memahami hadis Nabi secara tekstual dan kontekstual.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual
B. Beberapa Petunjuk dan Ketentuan Umum untuk Memahami Hadis
III. PEMBAHASAN
A. Memahami Hadis Secara Tekstual dan
Kontekstual
Segi-segi yang berkaitan erat dengan
diri Nabi dan suasana yang melatarbelakangi ataupun menyebabkan terjadinya
hadis mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Mungkin saja
suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual(, sedang hadis
tertentu lainnya lebih dapat dipahami secara tersirat (tekstual). Pemahaman
dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan,
setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar
belakang terjadinya, tetapi menurut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis
dalam teks hadis yang bersangkutan. Dalam pada itu, pemahaman dan
penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila “di balik” teks suatu hadis,
ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan
diterapkan tidak sebagai mana maknanya yang tekstual (tersurat)[3]
Contoh:
اِغْتَسِلُوْامِنْهُ
وَتَوَضَؤُوْافَاِنَّهُ هُوَالطَّهُوْرُمَأُهُ
“Mandilah
dan berwudulah kalian dengan air laut tersebut, sebab air laut itu suci dan
bangkainyapun juga halal”
Diriwayatkan oleh
Imam Ahmad. al-Hakim dan al-Baihaqi dari Abu Hurairoh, dia bekata: “Pada suatu
hari kami pernah pergi bersama Nabi SAW, tiba-tiba datanglah seorang nelayan,
seraya bertanya, ya Rasullallah sesungguhnya kami ini biasa pergi kelaut untuk
mencari ikan. Pada waktu kami berlayar sampai ditengah
laut kami kadang bermimpi keluar air mani (junub). Dengan demikian kami tentu
perlu air untuk mandi dan berwudlu. Bagaimana jika kami mandi dan berwudlu
menggunakan air laut? Sebab jika kami mandi dan berwudlu menggunakan air tawar
yang kami bawa untuk minum tentu kami akan mati kehausan. Nabi kemudian
bersabda sebagai mana dikutip diatas.[4]
Jadi setelah dihubungkan dengan
segi-segi yang berkaitan dengan asbabul wurudnya tadi, Hadis tersebut ternyata
tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis atau tekstual.
Contoh hadis yang harus dipahami secara
kontekstual
اَلْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ
فِيْ مَعٍى وَاحِدٍ, وَالكَافِرُيَأْكُلُ فِيْ سَبْعَةِ اَمْعَاءٍ
“Orang yang beriman itu, makan dengan satu usus (perut), sedang
orang kafir makan dengan tujuh usus”,
Secara tekstual hadis tersebut menjelaskan
bahwa usus orang beriman berbeda dengan orang kafir. Padahal pada kenyataannya
yang lazim, perbedaan anatomi
tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman seseorang. Dengan demikian
pernyataan hadis itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti hadis diatas
harus dipahami secara kontekstual.
Perbedaan usus dalam matan hadis
tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat
Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan bukan sebagai
tujuan hidup, sedang orang kafir menempatkan makan sebagai bagian dari tujuan
hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam
kelezatan makan, yang banyak menuntut
kelezatan makan pada umumnya adalah orang kafir. Disamping itu dapat dipahami
juga bahwa orang yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikmat Allah,
termasuk tatkala makan. Sedang orang kafir mengingkari nikmat Allah yang
dikaruniakan kepadanya.[5]
B. Beberapa Petunjuk dan Ketentuan Umum
Untuk Memahami Hadis
1.
Memahami
hadis sesuai petunjuk Al-Qur’an
Untuk memahami hadis dengan pemahaman
yang benar,
jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk maka haruslah kita
memahaminya sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, yaitu, dalam kerangka bimbingan
Ilahi yang pasti benarnya dan tak diragukan keadilannya. Jika Al-Qur’an
merupakan dasar yang pertama dan utama, maka hadis adalah penjelasan terperinci
tentang isi konstitusi
tersebut.[6]
Misalnya hadis mengenai hukum rajam yang memang
pernah ada dan diberlakukan oleh Nabi Muhammad, jika diteliti lebih lanjut,
materi hadis-hadis rajam itu sendiri dikaitkan dengan hukum-hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an, ternyata hal itu tidak sesuai bahkan
bertentangan dengan Al-Quran. Hadis rajam memuat ketentuan hukuman bagi
laki-laki dan perempuan yang berzina muhsan adalah rajam (dilempari batu atau
sejenisnya sampai mati). Jika ketentuan ini dikaitkan dengan ketentuan surat An-Nisa :25 yang berisi hukum hamba wanita yang
telah kawin dan berbuat zina adalah setengah dari hukuman wanita yang merdeka
yang telah menikah. Maka ketentuan hukum
rajam (mati) bagi hamba wanita tidak mungkin dilakukan, bagaimana mungkin
hukuman mati
bisa dibagi
dua. Akan tetapi, jika surat An-Nisa :25 dikaitkan dengan surat An-Nur (24):2 (yang menerangkan bahwa hukuman bagi pezina adalah
masing-masing didera 100 kali) maka dapat diperoleh
hasil yakni 100 kali deraan bagi wanita merdeka dan 50 deraan bagi wanita hamba
sahaya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa,
meskipun hadis rajam sahih dan pelaksanaannya pernah diterapkan Nabi, tetapi
melalui telaah historis, hadis tersebut telah dimansukh oleh Al-Qur’an surat
An-Nur ayat 2. Sehingga hadis ini tidak bisa diberlakukan lagi.[7]
2.
Menghimpun
hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama
Untuk berhasil di dalam memahami
As-Sunnah atau hadis secara benar, kita harus menghimpun hadis sahih yang
berkaitan dengan suatu tema tertentu. Dengan cara itu dapatlah dimengerti
maksudnya dengan jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan
yang lainnya.[8]
Seringkali Nabi menelurkan
sabdanya dengan memperhatikan keadaan yang beliau hadapi itu kepada seseorang
yang menanyakan. Misal
tentang perbuatan terbaik dan disukai Allah, Nabi menjawab sesuai dengan
keadaan pada waktu dan siapa yang bertanya . Jawaban yang dapat direkam atas
pertanyaan yang sama tersebut adalah:
1. Amal yang paling baik adalah shalat tepat pada waktunya
2. Amal yang paling baik dan disukai Allah
adalah membaca A-Qur’an sepanjang waktu
3. Amal yang paling utama adalah menahan
diri dari mengganggu dan menyakiti manusia
4. Amal yang paling utama adalah iman
kepada Allah dan Rasul-Nya
5. Amal yang paling baik adalah memberi makan kepada fakir
miskin dan memberikan salam kepada siapa saja.[9]
Dari kelima arti matan hadis yang
dikutip di atas
dapatlah dipahami bahwa amal yang termasuk lebih utama atau lebih baru itu
ternyata bermacam-macam. Dalam pada itu, dapat pula dipahami bahwa untuk
pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada), ternyata dapat saja jawabannya
berbeda-berbeda. Perbedaan materi jawaban sesungguhnya tidaklah bersifat
substansif. Yang substantif
adalah relevasi antara keadaan orang yang bertanya dan materi jawaban yang
diberikan.
Dengan demikian, jawaban Nabi atas
pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada) itu bersifat temporal, tepatnya
kondisional. Dan bukan universal.[10]
3.
Penghubungan
atau pentarjihan
antara hadis-hadis yang (tampaknya) bertentangan.
Pada dasarnya, nash-nash syariat tidak
mungkin saling bertentangan sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan
kebenaran. Karena itu, apabila diadakan
dengan adanya pertentangan, maka
hal itu hanya dalam tampak luarnya saja
. bukan dalam kenyataan yang hakiki.
Apabila penghilangan itu dapat dihapus
dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus
memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang
demikian itu lebih utama dari pada harus mentarjihkan antara keduanya. Sebab,
pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya dan mengutamakan yang
lain.[11]
Misalnya, hadis yang berisi larangan
buang hajat menghadap kiblat ataupun membelakanginya. Namun dalam hadis yang
lain dinyatakan bahwa Nabi pernah membuang hajat menghadap ke Baitul Maqdis,
yang berarti membelakangi kiblat. Dengan demikian secara tekstual petunjuk
kedua hadis tampak bertentangan.
Menurut penelitian ulama hadis, petunjuk
kedua hadis tersebut tidak bertentangan. Larangan Nabi berlaku bagi yang membuang hajat
di lapangan terbuka, sedang yang melakukan buang hajat di tempat tertutup,
misalnya WC, larangan tidak berlaku. Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan
metode al-jam’u.
Dengan demikian, secara kontekstual
kedua hadis tersebut tidak
bertentangan.
Larangan dan kebolehan yang dikemukakan oleh masing-masing hadis bersifat temporal
ataupun lokal.[12]
4.
Memahami
hadis dengan mempertimbangkan situasi dan kondisinya ketika diciptakan
Adakalanya suatu hadis berkaitan erat
dengan keadaan yang sedang terjadi. Keadaan tersebut tidak termuat dalam matan
hadis yang bersangkutan. Untuk mengkaji lebih khusus tetang pemahaman hadis
yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi atau berkembang, berikut ini
dikemukakan contoh matan hadis.
Misalnya, hadis tentang melukis yang bunyinya
اِنَّ اَشدَّالنَّاسِ
عَذَابًا عِنْدَاللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ المُصَّوِّرُوْنَ
(رواه
البخارى ومسلم وغيرهما عن عبدالله بن مسعود)
“Sesungguhnya
orang-orang yang menerima siksaan yang paling dahsyat di hadirat Allah pada
hari kiamat kelak adalah pelukis.”
Secara tekstual hadis tersebut memberikan
pengertian larangan untuk melukis,
bahkan dalam hadis lain para pelukis hari kiamat kelak dituntut untuk
memberikan nyawa kepada apa yang dilukiskannya di dunia. Malaikat juga tidak
akan masuk rumah yang didalamnya ada lukisannya.[13]
Larangan
melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan Nabi itu sesungguhnya mempunyai
latar belakang hukum
(illat al-hukum). Pada zaman Nabi, masyarakat belum lama terlepas dari
kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan patung dan semacamnya. Dalam
kepastianya sebagai Rasulullah,
Nabi Muhammad berusaha keras agar umat islam telepas dari kemusyrikan tersebut.
Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan larangan memproduksi
dan memajang lukisan.
Kalau illat al hukumnya demikian, maka
pada saat umat islam tidak lagi dikhawatirkan terjerumus kedalam kemusyrikan,
khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan
memajangnya diperbolehkan. Kaidah usul fiqih menyatakan, hukum itu ditentukan oleh
ilatnya (latar belakangnya), bila illatnya ada maka hukumnya ada. Dan bila
illatnya sudah tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.[14]
5.
Membedakan
antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz/kiasan
Ungkapan dalam bentuk majaz atau kiasan banyak sekali
digunakan dalam bahasa Arab. Dalam ilmu-ilmu balaghah dinyatakan bahwa ungkapan
dalam bentuk majaz, lebih terkesan dari pada ungkapan dalam bentuk biasa.
Sedangkan Rasulullah SAW adalah seorang yang berbahasa arab yang paling
menguasai balaghah. Maka tak mengherankan apabila dalam hadis-hadisnya beliau
banyak menggunakan majaz, yang mengungkap maksud beliau dengan cara sangat
mengesankan.[15]
Misalnya hadis
اَلْمُؤْمِنُ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه البخارى ومسلم
وغيرهما)
“Orang yang beriman terhadap orang
yang beriman lainnya ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh bagian yang
lainnya.”
Hadis Nabi tersebut mengemukakan tamsil
tasybih bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tasybih tersebut sangat
berlaku tanpa terikat waktu dan tempat. Sebab setiap bangunan pastilah
bagiannya berfungsi memperkokoh bagian-bagian lainnya dan tidak berusaha saling
menjatuhkan.[16]
Tujuan
dari tasybih dalam matan hadis tersebut adalah
1.
Menjelaskan keadaan musyabbah karena musyabbah
tidak dikenal sifatnya sebelum dijelaskan melalui tasybih (tamsil). Dengan
demikian, tasybih itu memberikan pengertian yang sama dengan sifat tersebut.
2.
Tasykhih
(Personifikasi), yaitu penggambaran benda mati menjadi benda hidup seperti
adanya bangunan (benda mati) dapat saling memperkokoh yang seolah-olah memiliki
tangan atau kekuatan (personifikasi). Dengan adanya personifikasi ini, maka
hadis menjadi menyentuh perasaan dan sangat mendalam.[17]
6.
Memahami
hadis nabi yang berupa ungkapan simbolik.
Sebagai mana halnya dalam Al-Qur’an,
dalam hadis Nabi juga dikenal adanya ungkapan yang berbentuk simbolik.
Penetapan bahwa ungkapan satu ayat ataupun satu hadis berbentuk simbolik
adakalanya mengundang perbedaan pendapat. Bagi yang berpegang pada kenyataan
secara tekstual, maka ungkapan yang bersangkutan dinyatakan sebagai bukan
simbolik.
Misalnya hadis yang berbunyi:
يَنْزِلُ
رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالى كُلَّ لَيْلَةٍ اِلَى السَّمَاءِالدُّنْيَا حِيْنَ
يَبْقَى ثُلُثُ الَّيْلِ الْاَخِرِ يَقُوْلُ:مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَاَسْتَجِبُ لَهُ
مَنْ يَسْأَلَنِيْ فَاُعْطِيْهِ مَنْ يَسْتَغْفِرْنِيْ فَاَغْفِرُلَهُ
“Tuhan kita (Allah) Tabaroka
Wa Ta’ala setiap malam turun ke langit dunia pada saat malam di pertiga
akhir (Allah) berfirman, “Barang siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku
kabulkan doanya itu, barang siapa meminta (sesuatu) kepada-Ku niscaya aku
memberinya, (dan) barang siapa minta ampun kepada-Ku, niscaya Aku
mengampuninya”
Ulama yang memahami
petunjuk hadis secara tekstual berpendapat bahwa matan hadis tersebut
berkualitas lemah (dla’if) bahkan palsu sebab Allah digambarkan sebagai naik
turun ke langit dunia. Itu berarti, Allah
disamakan dengan makhluk. Padahal
matan hadis tersebut berkualitas sahih bila dipahami secara kontekstual.
Maksud matan hadis yang menyebutkan
bahwa Allah turun ke langit
dunia adalah limpahan rahmat-Nya. Malam pertiga akhir dipilih karena saat yang
demikian itu adalah saat yang mudah untuk memperoleh suasana khusyu’ dalam berdoa dan
beribadah salat dalam keadaan yang penuh kekhusyukan itu, maka kehadiran
limpahan rahmat Allah mudah diperoleh.
Dengan pemahaman tersebut tidaklah
berarti bahwa rahmat Allah tidak turun diluar waktu malam pertiga akhir. Nabi
menyebut waktu tertentu
itu dengan maksud untuk menunjukkan kekhususannya.[18]
7.
Memahami
hadis dengan mempertimbangkan sebab secara khusus, (asbabul wurud) jika ada.
Secara etimologis, “asbabul wurud”
merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata “asbab” jamak
dari “sabab” yang berarti “segala
sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain” atau “penyebab terjadinya
sesuatu”. Sedangkan
“wurud” merupakan bentuk isim
masdar dari warada, yaridu, wurudan yang berarti datang atau sampai. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik
berupa peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadis itu
disampaikan.[19]
Memahami hadis dengan memperhatikan sebab-sebab
khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis sangat penting.
Contoh:
اَنْتُمْ
اَعْلَمُ بِاُمُرِالدُّنْيَاكُمْ (رواه
مسلم عن أنس)
"Kamu sekalian lebih mengetahui tentang
urusan duniamu”
(Hadis Riwayat Muslim dari Anas)
Hadis tersebut memepunyai sebab wurud
(sebab mendahului terjadinya hadis). Pada satu saat, Nabi lewat dihadapan para
petani yang sedang mengawinkan serbuk (kurma pejantan) ke putik (kurma betina).
Nabi berkomentar: “Sekiranya kamu sekalian tidak melakukan hal itu, niscaya
kurmamu akan lebih baik.” Mendengar komentar itu, para petani lalu tidak
lagi mengawinkan kurma mereka.
Setelah beberapa lama, Nabi lewat kembali ketempat
itu dan menegur para petani: “Mengapa pohon kurma itu?” Para petani lalu
melaporkan apa yang telah dialami kurma mereka, yakni banyak yang tidak jadi.
Mendengar keterangan mereka itu, Nabi lalu bersabda sebagai mana dikutip
diatas.
Banyak kalangan yang memahami hadis
tersebut secara tekstual. Mereka mengatakan bahwa Nabi tidak mengetahui banyak
tentang urusan dunia itu kepada para sahabat (umat islam). Adapun yang
berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis itu, maka islam membagi kegiatan
hidup yakni kegiatan dunia dan kegiatan agama. Padahal, dalam sejarah, Nabi
telah berkali-kali memimpin peperangan dan menang. Perang yang dilakukan Nabi
adalah urusan dunia disamping sebagai urusan agama. Nabi juga berdagang dan
berhasil. Dan dagang adalah urusan dunia.
Jadi, hadis tersebut, sesungguhnya
tidaklah menyatakan bahwa Nabi sama sekali buta tehadap urusan dunia. Kata
dunia yang termuat dalam hadis tersebut lebih tepat diartikan sebagai profesi
atau bidang keahlian. Dengan demikian, maksud hadis itu adalah bahwa Nabi tidak
memiliki keahlian sebagai petani, karena para petani lebih mengetahui tentang
dunia pertanian dari pada Nabi.
Hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi kepada
para pedagang, para pasukan perang, dan para pengembala kambing sebab dalam
kegiatan-kegiatan dagang, perang, dan pengembala kambing. Nabi memiliki
keahlian. Dengan demikian, yang harus diterapkan terhadap hadis ini adalah
pemahaman secara kontekstual bukan secara tekstual.[20]
IV. KESIMPULAN
1.
Pemahaman
dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan,
setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya misalnya, latar
belakang terjadinya tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis
dalam teks hadis yang bersangkutan atau tekstual.
2.
Pemahaman
dan penerapan hadis dilakukan secara kontekstual dilakukan bila “dibalik” teks
sesuai hadis, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan
dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana yang tekstual (tersurat) namun harus
dimaknai secara kontekstual
(tersirat).
3.
Beberapa
patunjuk dan ketentuan umum untuk memahami hadis.
a.
Memahami
hadis sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an.
b.
Menghimpun
hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
c.
Penggabungan
atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya) bertentangan.
d.
Memahami
hadis dengan mempertimbangkan situasi dan kondisinya ketika diucapkan.
e.
Membedakan
antara ungkapan yang bermakna sebenarnya yang bersifat majas/tamsil/kiasan.
f.
Memahami
hadis Nabi yang berupa ungkapan simbolik.
g.
Memahami
hadis dengan mempertimbangkan sebab secara khusus (asbabul wurudnya) jika ada.
V. PENUTUP
Demikianlah
makalah yang telah kami buat, apabila ada kesalahan dan kekurangan, baik dalam penulisan
maupun penyampaian kami mohon maaf. Kritik dan saran demi kemajuan yang akan
datang
sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amiin
VI. DAFTAR PUSTAKA
Ø Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang
Tekstual dan Kontekstual, PT. Bulan Bintang; Jakarata,1994.
Ø Said Agil Husain Munawar dan Abdul
Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritia Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual,
Pustaka Pelajar Offset; Yogyakarta, 2001.
Ø Yusuf Al-Qordawi, Memahami Hadis Nabi
SAW, Kharisma; Bandung, 1993.
Ø Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi Metode
dan Pendekatan, EESAD; Yogyakarta, 2001.
Ø Hasbi Ar Siddiqi, Problematika Hadis Dalam Pembinaan
Hukum Islam, Bulan Bintang; Jakarta, 1964.
[2] Prof. Dr. H.M. Syuhudi Islam, Hdis Nabi yang
Tekstual dan Kontekstual, PT. Bulan Bintang: Jakarta. 1994, Hlm 3
[3] Ibid hal. 6
[4] Prof. Dr. H.
Said Agil Husin Munawar, MA, Abdul Mustaqim, MAg, Asbabul Wurud, Pustaka
Pelajar Offset: Yogyakarta, 2001, hal 47-48
[5] Opcit, Syuhudi
Ismail, hal,. 21
[6] Yusuf
Al-Qordawi, Bagian Memahami Hadis SAW, Kharisma; Bandung, 1993 hal. 92
[7] Drs. Nizar
Ali, MA, Memahami Hadis Nabi Metode dan Pendekatan, EESAD; Yogyakarta, 2001, hal
84-85
[8] Opcit, Yusuf
Al-Qordawi, hal. 92
[9] Hasbi Ash
Shiddiqi, Problematika Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam
(Jakarta; Bulan Bintang, 1964) hal. 43
[10] Opcit, Syuhudi
Ismail, hal. 25-26
[11] Opcit, Yusuf
Al-Qordawi, hal. 93
[12] Opcit, Syuhudi
Ismail, hal 75-76
[13] Opcit, Said
Agil Husain Dkk, hal. 32-33
[14] Opcit, Syuhudi
Ismail, hal. 36
[15] Opcit, Yusuf
Al-Qordawi, hal. 94
[16] Opcit, Syuhudi
Ismail, hal. 14
[17] Opcit, Nizar
Ali, hal. 62
[18] Opcit, Syuhudi
Ismail, hal. 20-21
[19] Opcit, Said
Agil Husain Dkk, hal 7&9
[20] Opcit, Syuhudi
Ismail, hal 56-58
Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Histori-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001M), h.9
BalasHapussemoga dengan usaha bersama bisnis sewa mobil murah di palembang dan rental mobil terbaik anda dapat meraih kesuksesan
Slingo Casinos - JT Hub
BalasHapusFind the 창원 출장샵 best Slingo games at JT Hub. Get details about 대구광역 출장안마 the game selection, 논산 출장샵 payment methods, customer 해외야구 support, bonus codes 강원도 출장샵 and more.